12.31.2010

Bencana Merapi: Prihatin atau Darmawisata?


Natal 2010 ini, membagi pengalaman baru dan hikmah dibaliknya. Bahwa sungguh Tuhan mengamanatkan hambanya untuk selalu bersyukur.

Saya, beragama muslim. Mengutip kata Adil Pradipta di Twitternya, "Karena saya orang indonesia yang menganut paham bhineka tunggal ika, jadi besok saya lebaran versi nasrani, merry christmas guys :D," untuknya saya sepenuhnya sepaham. Karena saya mengartikannya sebagai saya sendiri berada di tengah keluarga yang menganut macam-macam agama, bagi saya ikut meramaikan suasana natal bukanlah masalah. Pada intinya, hari raya yang ini ditujukan untuk membentuk kehangatan keluarga dan kasih sayang terhadap sesama. Meyakini bahwa semua hal itu ada hikmahnya.

Hari kedua natal, tanggal 26 desember, kami sekeluarga besar menengok wilayah bencana akibat ketusan Gunung Merapi. Kami semua heboh membicarakan suasana disana, kami menyebut-nyebut soal mbah Marijan.

Lucu, kami ini ingin sekali melihat keadaan sebenarnya rumah mbah Marijan setelah ditinggal mati pemiliknya itu. "Ayo nengok rumahnya mbah Marijan!" kata Tante saya bersemangat sekali. Nisa hanya sekelibat mendengar kisahnya dan pemahamannya sampai pada kesimpulan dalam hatinya, yang belakangan dia beritahu saya, "Sumpeh demi apa lo?! mbah Marijan itu masih keluarga kita?!" semua itu karena efek dari semangat kami menjenguk mbah Marijan sama seperti semangat melayat ke makam Eyang kami.

"ya kalee dek, serumpun padi tumbuh disawah si mbah e! hahaha"
Amat jauh dari bayangkan. Saya mengira akan sepiiii sekali suasana disana, dimana orang-orang tidak akan berani mneginjakkan Merapi perkasa itu lagi. Yang terlihat antrian mobil-motor dengan berbagai plat. B, D, H, AA, AD, F. Tentunya dengan penumpang berbagai golongan dan usia. Dan di garda depan terdapat gerbang masuk dadakan dengan tarif berkarcis. Harga karcis Rp 1000,-/orang dan parkir Rp 3000,-/Mobil. Ketinggian kami saat itu 5km dari puncak merapi. Kecamatan Cangkringan, kabupaten Sleman.




Menanjaki jalan yang sempit dan padang "pohon beranting kering". Semua sudah gersang tanpa ada warna hijau sedikitpun. Rumah-rumah sekitar hancur porak.

Mobil parkir sejenak untuk melihat jurang yang terbentuk. Lautan manusia sedang menikmati pemandangan miris disana. Saya turun untuk cekrak-cekrik sedikit dan mobil kami menanjak lagi sampai area parkir yang sudah tersedia. Kami bertanya-tanya kanan-kiri sedikit tentang aturan main tempat "darmawisata" itu. Kami berjalan ke sebuah pos penyelamatan yang dialih fungsikan sebagai tempat berjualan makanan-minuman ringan, dan tentunya pangkalan ojek. Jalan dari pos itu ditutup palang bambu, sehingga tidak ada kendaran yang bisa terus mendaki keatas, kecuali ojek-ojek yang sudah disediakan. Tarif ojek itu sendiri Rp 20.000,- (PP), tidak bisa ditawar dan tidak bisa setengah harga jika hanya ingin naik ojek untuk nanjaknya saja.



Saya lebih memilih untuk jalan kaki, mengajak sodara-sodara yang lainnya. Lumayan, jarak yang ditempuh untuk sampai tempat tertinggi yang diperbolehkan sekitar 1,5 km full super nanjak dengan medan licin dan tidak rata akibat tumpukan lahar dingin. Sedangkan Popop dan Eyang putri saya memilih untuk naik ojek.

Saya tidak bisa mengutarakan bagaimana rasanya disana. Kalo mau komentar dari segi cuaca sih, disana itu dingin sekali dan sinar matahari menyengat parah. dalam 2 jam menanjak, kulit saya menghitam dua tingkat rasanya. Saya menyesal tidak memakai baju lengan panjang, walau sudah ekstra topi koboi.



Sekilas lokasi bencana ini seperti mengambil untung rupa demi rupa. Semua hal di materikan, bahkan terlihat sedang dibangunkan toilet umum oleh warga. Harga minuman-makanan tentunya menjadi 3x lipat. Penjual vcd rekaman meletusnya Merapi berlomba-lomba berteriak, juga penjual foto-foto "eksklusif" letusan Merapi. Lokasi ini otomatis menjadi tontonan bagi masyarakat awam, yang sekaligus di-objek-kin oleh warga sekitar.

Saya cukup hanya memberikan kesimpulan positif, karena semua itu dilakukan warga untuk mendapatkan kebutuhan sehari-hari mereka. Dari mana lagi mereka mencari uang? mata pencaharian mereka sebagai petani, pemburu, penambang, atau penyaji kesenian daerah sudah hilang. Ada spanduk yang tersebar dimana-mana disekitar lereng-lereng yang berkalimat "Merapi Bukan Tontonan, Bantulah Hijaukan Kami," spanduk ini yang membuat kesimpulan seperti diatas yang sebelumnya saya berpikir "ambil kesempatan dikesempitan"

Untuk Foto-foto keadaan wilayah pasca bencana lainnya yang lebih prihatin dari pembuka disini, dapat citizen lihat disini Bencana Merapi. Dan kalian terbuka bebas untuk merasakan sendiri foto-foto saya..