10.10.2015

Moment Terbaik atau... (Terburuk) : Hari ke-1

Tugas pertama untuk desk bulletin hari itu diawali pukul 05.00 dari Bandara Halim Perdana Kusuma. Kami (gue dan camera person) sudah siap banget, dengan membawa satu backpack full set pakaian ganti seperti ingin Dinas Luar Kota, walau kolip (kordinator liputan) bilang kalo kita sebisa mungkin melakukan perjalanan pergi-pulang.

Oya, kami akan ikut perjalanan bersama TNI AU menggunakan pesawat Hercules, melakukan pencarian pesawat QZ8501, di perairan Tanjung Pandan, lokasi yang diperkirakan tempat jatuhnya pesawat, walau bukan disana tempat terakhir terdeteksi sinyal ping.

Jam 05.00 kami dan kurang lebih seratus wartawan lainnya menyetujui manifestasi perjalanan hari itu, dan satu jam kemudian direncanakan akan diberangkatkan bersama anggota BASARNAS. Sebelum berangkat kami mendapat briefing mengenai SOP penerbangan juga misi pencarian hari itu. Hmmm... saat itu gue merasa sebagian pikiran gue ada di tanah dan yang sebagian entah ada di mana. Antara mengerti dengan apa yang mereka katakan dan sebagaian lagi merasa mereka berbicara bahasa yang emang ga gue mengerti. Bagian yang ga gue mengerti itu, terletak pada subjek dan objek, yang terindikasi sebuah nama, tempat, atau benda. Tapi gue terus mencatat apa yang gue denger.... catet aja dulu, mikirnya belakangan deh.

Pertanyaan pertama gue ajukan ke wartawati di sebelah gue, “Mba, hmmm... Atang Sanjaya itu jabatannya apa ya?” karena dari apa yang gue denger sih, si Atang Sanjaya ini hebat bener, dia akan mengirimkan helikopter juga pesawat bantuan, yang akan ikut dalam misi pencarian.

“Maksudnya?” Mba Wartawati sempat kebingungan dengan pertanyaan gue.
“Iya, yang tadi ngirim heli, hercules satu lagi....,” gue masih ragu-ragu.
“Ooh, itu nama lanud mba, di Bogor,” jelasnya.
“Ooooooh.. oke. Makasih yaa.” K-I-C-E-P, sambil senyum-senyum sendiri.

Oke, mungkin kalo kapten di depan bilang soal Agus Salim, Bung Tomo, Supriyadi, atau Bung Karno.. gue tau apa yang lagi diomongin.. hahaha.

Gue pun mendapat kloter pertama terbang dengan Hercules TNI AU A1319. Ini pertama kalinya gue naik Hercules yang katanya super besar dan tempat duduknya suka-suka lo itu. Apa yang gue bayangkan ternyata tepat. Yaa.. duduk di sisi kanan dan kiri berhadap-hadapan (macem diangkot), dan suasanya emang seperti naik Bus tapi terbang. Hal itu juga yang diperingatkan oleh awak pesawat.

“Jangan sering jalan-jalan, lari-lari, atau loncat-loncatan. Walau pesawat ini besar, kaya bus terbang. Tapi tetap harus jaga keselamatan”

Gue juga ga tertarik untuk banyak tingkah sih. Lambat laun pun kami semua mati gaya.

Pesawat Hercules A1329 (kloter kedua) yang juga bersama-sama melakukan pencarian di perairan Tanjung Pandan

Momen lepas landas memang luar biasa bisingnya. Gue ga bisa denger omongan sendiri. Sesampainya pesawat di atas awan, suhu ruangan terasa dingin. Dua jam perjalanan pun membuat kami semua tertidur.

Satu persatu orang-orang terbangun setelah merasa ketinggian pesawat ini berkurang, dan saat itulah pencariaan mulai dilakukan. Ketinggian pesawat kami berada 500 meter di atas permukaan laut. Pesawat tidak bisa lebih rendah dari ini karena cukup membahayakan.

Yang bisa melihat apa yang ada di luar sana hanya awak pesawat yang berjaga di setiap jendela, dan para pilot yang berada di kokpit. Kami para wartawan bisa melihat sekaligus mengambil gambar secara bergantian. Juga bergantian naik ke kokpit pesawat, satu-satunya tempat yang udaranya dingin ber-AC. Karena lama kelamaan, udara di pesawat sangat panas. Ini disebabkan kami berada diketinggian rendah.

Jendela Hercules A1319 aka. lubang pengamatan awak dan penumpang selama 10 jam pencarian

Sepuluh jam pesawat Hercules kami menelusuri di perairan Tj. Pandan secara vertikal. Namun, sayang sekali kami tidak menemukan apapun. Hanya satu penampakan berupa sebuah bidang besar rata berwarna putih, yang dicurigai sebagai badan pesawat. Satu-satunya cara untuk mengecek kepastiannya adalah melalui jalur air. Namun malamnya, dikonfirmasi bahwa temuan itu hanya sampah laut.

Panasnya udara dalam Hercules A1319 membuat para jurnalis 'teler' ikut dalam 10 jam pencarian

Esoknya (saat gue sedang sibuk-sibuknya dengan temuan yang valid), gue dapet kabar dari chat seorang teman, kalo sosok gue disebut dalam status update akun sosial wartawati yang gue tanya dengan polos subuh-subuh itu.

Status itu kira-kira mengisyaratkan kalo reporter TV itu “kosong”. Gue yang dikirim screen shot status mba-mba itu, Cuma ketawa-tawa. Tanpa tersinggung sebetulnya. Well, everyone has their first. Gue pun ga kepikiran untuk membekali diri gue dengan nama-nama landasan udara di daerah-daerah sih.. apalagi lanud kecil, walau ternyata itu di Bogor looh.. deket banget. Tapi gue emang ga pernah denger sih. Hahahaha.


Belakangan gue lama-lama tahu memang si mba wartawati ini emang dikenal dengan orang yang “sok pinter” dan punya banyak masalah dengan orang-orang karena status yang dipublishnya lewat media sosialnya. Amin.

10.08.2015

Momen Terbaik atau... (Terburuk)


foto oleh: IHSANUDDIN | kompas.com

Pagi itu cukup baik bagi gue, karena bisa memperbaiki pola istirahat yang memang selalu berantakan setiap hari, usai make jatah libur (Jumat-Sabtu) buat tidur seharian. Maka bersemangatlah gue menuju kantor pukul 10.00. Kali ini pun gue bisa ga tertidur dalam perjalanan menggunakan bis menuju kantor. Gue bisa chat selama perjalanan.. biasa rame-ramein grup Whatsapp.. sampe berita jatuhnya pesawat AirAsia QZ8501 berhembus dan kabarnya kantor sudah memulai breaking news.

Divisi gue tidak ribut soal itu, karena memang kami hanya fokus berita olahraga saja, dan program Kompas Sport Petang masih tetap sesuai jadwal untuk sementara. Tugas gue kali ini pun hanya rought cut materi editing dokumenter olahraga.. sampai akhirnya sore hari tiba.

Salah satu produser gue menghampiri gue yang ruang editing, yang melontarkan kalimat yang menjurus pada penyataan daripada pertanyaan.

“Rat, lo berangkat ya ke Singapur...” Mas Deden yang masih megang gagang pintu editing.
“Ha? Ngapain......... AirAsia??” Gue masih berpikir, ada event olahraga apa lagi di Singapura sebelum akhirnya gue paham maksudnya apa, “Hmmmm... mmmm.. duh.... yaaaa.... gimana ya.. O..o.. oke”.
“Mending sekarang lo riset sebanyak-banyaknya, lo bawa passport sekarang? Ada baju ganti ga?” sambil produser gue meniggalkan gue gitu aja yang termangu

Well, gue tau sebetulnya SOP kantor, setiap reporter paling harus meninggalkan baju ganti cadangan yang siap pakai. Tidak lain untuk kejadian darurat seperti ini. Gue masih berpikir untuk menolak hal itu, antara yakin atau tidak. Karena dalam hati gue tertantang untuk melakukan hal yang baru – walau di luar keahlian gue – yang benar.. benar.. benar.. baru.

Kenapa harus gue? Salat satu alasannya, banyaknya reporter news bulletin yang sedang masa cuti natal juga tahun baru. Keberadaan gue pun akhirnya dapat menjadi bala bantuan tambahan bagi Kompas TV. 

Keputusan gue menyanggupi tugas ini, setelah berkonsultasi dengan produser yang gue anggap sebagai mentor terbaik gue, Retno Lestari (kapan-kapan gue ceritain soal dia). Dia memberikan pendapat (positif tambahan) bahwa meyakini apapun yang gue lakukan pasti mampu memuaskan banyak pihak.. ini adalah moment terbaik untuk gue (sebagai jurnalis).

Di lain pihak, peristiwa ini tentunya menjadi hal terburuk bagi yang pernah mereka alami. Tidak ada yang ingin mendapatkan nasib buruk dengan ditinggalkan oleh orang-orang yang dicintainya dengan cara seperti ini. Mereka berharap dapat bertemu lagi dengan para penumpang dilain waktu setelah melakukan liburan, kunjungan, pekerjaan, dll di Singapura. Bahkan seperti yang sudah diberitakan, justru peristiwa ini meninggalkan bekas yang dalam bagi yang ditinggalkan karena rata-rata korban jatuhnya QZ8501 mempunyai hubungan satu darah (keluarga).

Sebagai pembuat berita, di sana kami harus membuat hati kami sebagi manusia mati rasa.. mendapatkan berita seaktual dan faktual mungkin, bagaimana pun caranya.. walau harus melihat hal-hal terburuk sambil menahan emosi.


Deep.. very deep condelences!