(Senin, 14 Desember 2009. 21:34)
Sembilan jam di atas tempat tidur. Sembilan jam menanti tubuh ini membaik. Sembilan jam hanya menghabiskan waktu menonton “THE GREAT QUEEN SEONDEOK” di atas tempat tidur dengan si Abu yang setia menemani dan tampaknya sudah mulai memanas, namun masih aja di forsir untuk melayaniku mengeluh kan hal ini. Jika sudah begini, tak ada yang ku hiraukan lagi. SMS pun tidak akan ku baca. Telepon pun tidak akan ku angkat. Dan jika pintuku diketuk akan ku jawab agar mereka pergi dahulu sebelum hal macam ini selesai.
Bosan tidak ada hiburan. Hanya si Abu dan si Merah yang setia menemaniku sekarang. Di sini aku tidak dapat membawa si Melody dan geng Dingin, karena mereka tidak punya tempat di sini. Jadi mereka hanya bisa menungguku memakai mereka saat aku kembali pulang. Dan diary-diary itu jarang lagi aku tulisi dan aku tempeli dan aku gambar, karena entah apa yang membuat ku malas menyentuh mereka. Mungkin karena si Abu yang hampir bisa melakukan apa saja, sehingga aku malas begini capek-capek membuat segalanya dengan tradisional. Kemalasan ini membuat kedetailan yang selalu jadi ciri khasku hampir hilang sudah. Karena detail itu lelah.
Sembilan jam ini memberi waktuku berpikir. Berpikir tentang tiga hari lalu, tiga hari penuh kebencian terhadap para Pengganggu-Pengganggu itu, atau Bedebah-Bedebah kalo kata Aang. Rasanya cukup untuk membenci, walau ku tahu itu tidak akan cepat hilang. Tapi kebencian itu membuat ku merasa lelah. Tadinya aku hanya benci, tapi aku cukup diam. Karena aku lebih suka membiarkan apa yang mau mereka lakukan, dan persetan denganku juga ingin melakukan apa. Tapi, ternyata kebencian itu bukan hanya aku yang rasakan. Wanita-wanita itu juga merasakan, dan timbulah kebencian bersama-sama. Namun, sebenernya aku tidak suka seperti ini. Aku tidak suka membenci orang. Bila pun sudah terlanjur benci, fuck with them. Aku berusaha mungkin tidak akan berurusan dengan mereka jika tidak terpaksa atau mendesak. Dan aku tidak akan mengambil keuntungan dari macam ini. Menurutku itu MUNAFIK. Aku lebih suka mendengarkan mereka berbicara. Yaaaa, aku mengakui ketika memuncak aku menjelekan apa dari mereka yang aku tidak suka itu. Karena aku bingung, omongan ku kalah dengan wanita-wanita itu, rasanya mereka seperti yang paling benci saja. Entahlah, aku merasa aku yang paling benci, bahkan setelah kejadian NOTES yang menimpaku itu, aku semakin benci dengan mereka. Sungguh. Bahkan tidak hanya dengan mereka. Lebih jauh dari itu. Aku lebih benci dengan semua yang ada di tempat buruk itu. Sampai ke inang-inang nya. Namun, semua punya masalahnya sendiri. Semua beranggapan dirinya yang paling menderita, sama ketika merasa diri kita yang paling benar. Karena bagi kita, dunia di ciptakan untuk kita, berputar untuk kita. Jika pun aku punya pilihan utuk pindah seperti Nisa, aku tidak akan berpikir dua kali untuk itu. Sungguh.
Aku menyebut KOLONI. Karena ternyata mereka adalah binatang yang sejenis. Tadinya ku pikir mereka tidak sama, namun tenyata jika kau melihat dalam-dalam lagi... HAH! Terlihat kesamaan mereka. Aku menyebutnya PALSU. Iyaa, orang-orang palsu macam mereka. Mereka tidak menjadi diri sendiri, tapi rela untuk menjadi palsu untuk bisa di terima oleh yang TIDAK PALSU ke dalam koloni mereka. TIDAK PALSU, orang macam ini sudah dari sananya begitu. Mau bagaimana lagi, tidak mungkin lagi berubah, kecuali mereka ganti kulit dan ganti hati. Mereka dari dulu sudah terlahir seperti itu. Mungkin jika mereka ganti kulit dan hati sekalipun, mereka akan berganti nama menjadi ORANG PALSU, karena tidak ada yang mempercayai perubahan mereka. Kalo merka KOLONI, ORANG-ORANG PALSU DAN TIDAK PALSU, lalu apa aku ini dan yang lainnya. Khusus aku dan teman-teman, ku bilang kami ini THE REAL. Hmmph, terserah deh. Narsis? Atau merasa menjadi orang suci? HAH! Lebih baik begini kan. Setidaknya aku tetap menjadi diri sendiri. Senang atau tidak..”SUCK ON IT BIAATCH!”
Tadinya aku tidak suka membicarakan hal ini di belakang. Aku hanya diam. Anggap saja, dosa dan pahala tanggung masing-masing. Aku akan menimbun pahala ku sendiri. Namun, kesal juga ya. Haha, akhirnya pun aku membicarakan mereka di belakang. Awalnya, aku terima saja dan cukup ikhlas saja mereka mebicarakan ku di belakang. Terlebih soal “NOTES” itu. Apa sih yang mereka tau soal itu? Nada bicaraku pun tidak. Kalo saat itu nada bicaraku sebenernya baik, sekarang nada bicaraku seperti yang kalian praktek waktu itu. Apa namanya? MENANTANG? Iya, aku berbicara menantang sekarang. Apa ya Karin menyebutnya? “Pengkoreksian perilaku akibat di omong orang lain di belakang”.. aku harap kalian begitu.
Ahhh, sudahlah. Kan lelah mejadi seperti ini. Aku toh hanya bisa tersenyum walau dalam hati ingin melemparkan muntahan kepada kalian. Aku lebih suka sabar. Siapa tau lama kelamaan hal ini akan berubah. Berubah ke arah yang lebih baik. Mengharapkan nasib ku ber-“REFORMASI”.. haha. Mengharapkan aku tidak akan benci lagi terhadap kalian, mengharapkan tempat ini layaknya mimpi indah yang tidak pernah ku sesali, mengharapkan tidak ada orang-orang PALSU lagi. namun ku rasa itulah macamnya hidup. Sampai mati di luar sana akan lebih banyak lagi orang begini. Eneg bukan, but FACE IT, bung!
Hmm, yang ku syukuri, betapa enaknya menjadi DIRI SENDIRI.